SUIKERMOLEN

SUIKERMOLEN

SUIKERMOLEN 3056 2362 Bidang Perpustakaan

Batu gilingan tebu (suikermolen) di Gebang Kota. Gigi gerigi di tepi lubang samping tampaknya telah sengaja diratakan hingga tak bersisa. Mungkin untuk mengejar faktor estetika ketika dialihfungsikan sebagai hiasan eksterior pos ronda.

Batu gilingan Tebu di samping pos ronda Gebang Kota, Masaran

BATU BERGERIGI DAN KILANG GULA DI GEBANG, MASARAN

Jalur rel lori (decauville) pada peta 1934 memberi petunjuk awal adanya aktivitas industri di Gebang. Jejak ini kian diperkuat dengan sisa-sisa struktur bangunan yang menurut cerita warga adalah bekas pabrik. Pun, batu bergerigi yang kini tergolek manja di Pos Ronda (Gebang Kota) tadinya berada di area pabrik, kemudian dipindahkan oleh warga ke lokasi sekarang.

Mimin juga memperoleh info dari warga Gebang Kota bahwa sebenarnya terdapat dua batu bergerigi dengan ukuran serupa, alias kembar. Namun, yang sebuah telah beralih fungsi menjadi bahan pondasi bangunan.

Mimin kemudian memfokuskan perhatian pada batu bergerigi. Awalnya mimin mengira batu silindris itu adalah komponen dari kincir air yang meneruskan sumber energi untuk menggerakkan mesin.

Pada masa lampau, pabrik-pabrik lawas biasanya memanfaatkan aliran sungai untuk sumber tenaga penggerak mesin. Kebetulan, lokasi bekas pabrik yang telah menjadi pemukiman juga berada di pinggir sungai cukup besar, yakni Kali Mungkung.

Namun, belakangan mimin meragukan fungsi sebagai penerus daya gerak mesin, mengingat komponen yang terbuat dari batu andesit terlalu berat untuk digerakkan dengan air. Bahan batu yang berat menjadi tidak efisien karena kehilangan banyak gaya potensial dari aliran sungai.

(cie…cie…mimin jadi ingat pelajaran fisika jaman SMA dulu. Jujur, masa remaja dulu mimin nggak sempet pacaran oq.. Suerr ewer ewer …..soalnya waktu itu konsen pada bu guru fisika mimin yang pinter, cantik pula…hihihi)

Akhirnya, petunjuk datang dari teman mimin yang seorang arkeolog. Ternyata batu bergerigi itu adalah komponen penggiling tebu. Mimin kemudian mencari referensi pustaka soal bisnis penggilingan tebu di Jawa masa lampau. Sisik melik batu yang nganu itu pun pelan-pelan terkuak.

Merujuk jurnal yang ditulis Libra Hari Inagurasi (2015) dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, diperoleh data bahwa komponen gilingan tebu (suikermolen) berbahan batu adalah teknologi yang tergolong tua. Batu bergerigi itu berfungsi menggiling atau memeras tebu untuk diambil airnya sebagai bahan baku pembuatan gula. Jenis batu yang digunakan adalah granit.

Komponen ini telah digunakan industri gula di Batavia dan Banten pada rentang tahun 1600 hingga menjelang 1800 (abad ke- 17-18). Batu-batu gilingan tebu yang kemudian disebut molen itu datangkan dari Fujian Cina oleh para industriawan Tionghoa. Lalu melintasi Taiwan, kemudian Vietnam, hingga tiba di Pulau Jawa.

Instalasi penggilingan gula masa itu jamak didirikan di tepi sungai. Selain memanfaatkan aliran air sebagai sumber penggerak, juga untuk memudahkan membuang sisa olahan tebu.

Namun,skala industri ini umumnya berupa kilang gula milik perorangan dan tidak sebesar pabrik yang dioperasikan suatu perusahaan (Suikerfabriek). Nampaknya skala industri yang masih bersifat perorangan (kilang) inilah yang menjadi alasan mengapa di peta Gebang terbitan Belanda tidak tercantum kode S.F.

Dugaan mimin bahwa batu bergerigi di Gebang adalah alat penggilingan tebu semakin jelas ketika disandingkan dengan koleksi batu gilingan tebu milik Museum Situs Banten Lama dan Museum Gula Jawa Tengah.

Di Museum Situs Banten Lama terdapat tiga buah batu silindris, memiliki gerigi yang dipahatkan pada salah satu bagian ujung atau tepian mengelilingi lingkaran batu. Batu tersebut terbuat dari granit dengan permukaan yang halus.

Salah satu batu berukuran tinggi 65 cm dan bergaris tengah 71 centimeter. Gerigi berjumlah 13 buah. Di bagian muka yang menghadap ke atas terdapat sebuah lubang berbentuk segi delapan dengan kedalaman 18 centimeter. Lubang oktagon (segi 8) itu tepat berada di tengah-tengah.

Sementara itu, Museum Gula Jawa Tengah yang berada di Pabrik Gula Gondang Baru, Klaten, mengoleksi alat-alat pembuatan gula tradisional berupa sepasang batu berbentuk silinder.

Pada dinding sisi atas batu di Museum Klaten terdapat gerigi. Demikian pula terdapat lubang oktagon di tengah-tengah penampang muka yang menghadap ke atas.

Batu gilingan tebu koleksi dua museum tersebut dapat menjadi data pembanding sebab bentuknya plek keteplek dengan batu bergerigi desa Gebang, Masaran,Sragen.

Batu-batu tinggalan dari tiga lokasi itu sama-sama silindris, bergerigi di salah satu ujung batu dan melingkar mengelilingi batu. Selain itu memiliki lubang pada bagian permukaan atas dan samping. Hanya saja, gigi gerigi molen Gebang tampaknya telah sengaja diratakan.

Berdasar artefak pembanding di dua museum itu, maka batu bergerigi yang nganu di Gebang itu tak lain adalah batu gilingan tebu (suikermolen).

Beberapa ahli arkeologi industri telah melakukan penelitian terhadap cara kerja batu gilingan tebu. Untuk itu,mimin merujuk hasil rekonstruksi kerja peralatan suikermolen yang telah dilakukan Subianto Rustandi, peneliti sejarah industri gula di Batavia. Ia merakit kembali beberapa artefak batu gilingan tebu hingga dapat berfungsi seperti semula.

Sepasang batu gilingan diletakkan vertikal dengan gerigi saling bertaut di bagian atas. Keduanya didirikan di atas batu alas dengan penampang berbentuk bintang. Sebagai bantalan digunakan logam atau kayu agar batu gilingan tidak saling bergesek langsung dengan batu alas yang mengakibatkan kerusakan.

Lubang oktagon (segi delapan) pada bagian permukaan atas batu digunakan untuk menempatkan besi atau kayu sebagai poros penggerak. Poros ini dihubungkan dengan lengan terbuat dari kayu atau besi, yang kerap disebut ‘’kuk’’. Pada ujung kuk tersebut diikatkan dan ditarik hewan (kerbau atau sapi) yang berjalan berkeliling. Kadangkala, bisa juga ditarik dengan menggunakan tenaga manusia.

Ketika besi atau kayu poros ditarik maka kedua batu silindris tersebut bergerak dan berputar. Batang tebu yang akan digiling dijepitkan di antara dua buah batu silindris. Ketika dua buah batu digerakkan maka batang tebu akan tergilas dan mengeluarkan air tebu atau nira. Sebuah bak penampung dibuat atau ditempatkan di bawah batu silindris untuk menampung air tebu.

Sebagai alternatif pemutar penggilingan, digunakan aliran sungai. Ini dimungiknkan jika lokasi kilang berada di dekat sungai, yang banyak undakan atau air terjun. Karena perbedaan ketinggian, aliran air bisa digunakan kincir untuk giling tebu.

Sayangnya, di sungai samping pabrik Gebang, mimin belum menemukan adanya kontur sungai yang curam dan mengalir deras hingga mampu melayani kincir air untuk menggerakkan gilingan batu yang berat itu.

 

Sumber: https://www.facebook.com/sragentempodoeloe