Jika kita melintasi jalan penghubung Plupuh (Kabupaten Sragen) menuju Kota Surakarta, sebelum melewati jembatan kali Cemara, kita akan menjumpai sebuah pendapa beratap Joglo. Di depan pendapa berukuran tak terlalu besar itu terdapat sebuah taman, kecil saja namun asri. Sebuah patung berdiri gagah dalam area taman mungil. Besar patung sebanding dengan ukuran manusia normal. Menilik detil tampilannya, patung mencitrakan sosok tentara belia. Ada yang unik dari patung tentara ini. Tangan kanan membawa senapan, sedangkan tangan kiri memegang buku. Patung tersebut berdiri di atas penyangga berbentuk balok segi empat. Pada setiap sisi dindingnya terdapat prasasti. Dari tulisan prasasti pada bagian muka, diketahui patung tersebut adalah Monumen Serangan Umum 4 Hari.
Adapun patung prajurit muda tersebut memvisualisasikan sosok Tentara Pelajar. Senapan dan buku yang dipegang adalah simbol pelajar yang ikut berjuang. Para pemuda pelajar kala itu masih berusia antara 15-18 tahun, setara pelajar tingkat SMP dan SMA saat ini. Patung dan pendapa joglo yang terletak di Wonosido RT 15 Desa Sidokerto, Kecamatan Plupuh itu bukan bangunan sembarangan. Bangunan itu didirikan untuk memperingati keputusan komando serangan besar-besaran para Pejuang Indonesia terhadap kedudukan militer Belanda di Kota Solo.
Peristiwa itu dalam catatan sejarah dikenal dengan Serangan Umum Surakarta atau juga disebut Serangan Umum Empat Hari, berlangsung pada tanggal 7-10 Agustus 1949. Serangan umum itu dipimpin oleh Letkol Slamet Riyadi dimulai pada hari Minggu pagi, 7 Agustus 1949, serentak terhadap kedudukan Belanda di Kota Solo. Kekuatan pasukan yang digerakkan memasuki kota Solo pada hari pertama adalah pasukan-pasukan dari Sub Wehrkreise “Arjuna” 106, terdiri 26 Regu Detasemen II Tentara Pelajar Brigade XVII TNI, 3 Regu dari MB (Mobil Bridge) Polisi dan 3 Regu Brigade V TNI.
Kota Solo dikepung dari empat jurusan oleh anggota-anggota gerilya yang sejak pagi buta sudah menyusup memasuki kota. Praktis selama 4 hari, kota Solo luluh lantak menjadi medan perang. Para pejuang berhasil membumihanguskan dan menduduki markas-maskas Belanda di Solo.Sedikitnya 7 serdadu Belanda tewas. (Catatan: sebelum Serangan Umum Surakarta 7-10 Agustua 1949, sebuah peristiwa heroik terjadi di Purworejan, Brujul, Jaten Kab. Karanganyar. Di tempat ini, pada 4 Agustus 1949 sepasukan tentara Belanda bersenjata lengkap menyerah di tangan pasukan Tentara Genie –Zeni– Pelajar, Brigade XVII.)
Serangan umum empat hari itu merupakan pukulan telak bagi Belanda. Sebaliknya berhasil memperkuat posisi tawar perjuangan diplomasi delegasi Republik Indonesia di Konferensi Meja Bundar (KMB), Den Haag. Namun yang jarang diketahui publik, keputusan komando dan pematangan rencana serangan umum tersebut ternyata berlangsung di sebuah rumah di Wonosido RT 15, Desa Sidokerto, Plupuh Sragen. Rumah bersejarah itu milik Mbah Bayan Sastro Sudarno. Letaknya, di belakang pendapa dan monumen Serangan Umum Empat Hari Surakarta. Rapat itu berlangsung dari tanggal 3-5 Agustus 1949.
Rapat komando dipimpin Mayor Achmadi Hadisoemarto selaku Komandan Sub Wher Kreise (SWK) Ardjuna 106 yang sekaligus komandan Detasemen II Tentara Pelajar (TP) Brigade XVII TNI. Rapat Komando di rumah Mbah Sastro ini menghasilkan keputusan penting. Pada 5Agustus 1949 jam 17.50 petang, Mayor Achmadi pun mengeluarkan Perintah Siasat No. 1/8/SWK/A3/Ps-49.
Isinya untuk mengadakan serangan secara besar-besaran (serangan umum) ke dalam Kota Solo mulai tanggal: 7 s.d. 10 Agustus 1949 guna mendapatkan posisi di lapangan apabila cease fire (gencatan senjata) diberlakukan. Lahirnya perintah siasat dari Wonosido oleh Mayor Achmadi Hadisoemarto merupakan momen menentukan bagi aksi bersejarah Serangan Umum Surakarta. Maka untuk memperingati peristiwa itu dibangunlah pendapa dan monumen di Wonosido, Desa Sidokerto, Kecamatan Plupuh, Sragen Pun, karena lekat dengan peran Tentara Pelajar maka sosok prajurit belia membawa senapan dan buku dipilih menjadi ikon.
Sumber : @barasatria – Sragen Tempoe Doeloe