Serangan Umum 1 Maret 1949

Serangan Umum 1 Maret 1949

Serangan Umum 1 Maret 1949 150 150 Bidang Perpustakaan

Setiap peristiwa, apalagi berkaitan dengan peristiwa perjuangan kemerdekaan, yang tidak terdokumentasi maka ia tidak atau belum disebutsebagai sejarah. Demikianlah aturan resmi  untuk menentukan otensititas suatu peristiwa sehingga benar-benar disebut sebagai fakta sejarah. Maka, setiap dokumentasi peristiwa, entah itu dalam bentuk tulisan, monumen, candi, prasasti, entah yang lainnya, mutlak dihadirkan untuk melegitimasi kebeneran peristiwa itu sendiri. Benarkah selalu demikian? Bagaimana dengan sejarah dengan banyak mendasarkan diri pada bukti-bukti lisan, terutama dari pihak pelaku sejarah yang terlibat di dalamnya?

Dalam konteks pertanyaan itulah buku ini diterbitkan. Batara R. Hutagalung, dalam penelitiannya ini, tidak hanya mengandalkan dokumentasi tertulis, sebagaimana ilmuwan sejarah pada umumnya, tetapi lebih banyak mendasarkan diri pada bukti-bukti lisan dengan melacak dan mewawancarai para pelaku sejarah, atau setidaknya keluarga dekat dari sang pelaku. Tentu saja, unsur-unsur subjektivitas tak dapat dihindarkan. Itu diakui oleh Batara. Karena itu, Batara menyebut karyanya ini sebagai versi alternatif dari versi-versi lain yang dianggap “resmi” dan karna itu otentik. Upaya Batara menyingkap sejarah kemerdekaan Republik kita ini patut diapresiasi. Dengan karyanya ini, Batara setidaknya telah menyadarkan kita bahwa ada banyak sisi sejarah bangsa kita yang belum diungkap dan dipelajari.

Peristiwa pemberontakan Kartosuwiryo adalah salah satunya. Dalam kesadaran kolektif kita, diyakini bahwa Kartosuwiryo bersama pasukannya adalah kelompokpemberontak terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka dianggap melakukan tindakan makar terhadap pemerintahan yang sah sehingga harus dimusnahkan. Demikianlah kesadaran kolektif kita memandang peristiwa tersebut, yang kemudian dikenal sebagai pemberontakan DI/TII di Jawa Barat. Kehadiran buku ini berusaha membawa kita kepada suatu optik baru (alternatif) terhadap peristiwa tersebut. Sebagaimana berontak yang bermaksud menggulingkan pemerintahan yang sah dengan mendirikan negara baru (baca: negara Islam). Kartosuwiryo dilihat oleh Batara justru sebagai pejuang yang gigih mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Bukankah Kartosuwiryo mendirikan negara Islam tersebut di dalam wilayah kekuasaan Belanda untuk kepentingan menghancurkan Belanda? Bukankah setelah Konferensi Meja Bundar 1947, Kartosuwiryo adalah salah seorang pejuang kemerdekaan, selain Kahar Mudzakar, Daud Beureuh, dll,. yang kebetulan berseberangan dengan pemerintah dalam menyikapi agresi militer Belanda? Mereka, dengan caranya masing-masing, tentu saja menpunyai “hak” menghadapi agresi militer Belanda, salah satunya dengan cara yang dilakukan oleh Kartosuwiryo.

Peristiwa lain yang disorot oleh Batara adalah Serangan Umum (SU) 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Pertanyaan pokoknya adalah, bagaimana grand design SU I Maret 1949 dipersiapkan? Siapa sebenarnya pemrakarsa utama SU 1 Maret 1949? Pertanyaan-pertanyaan ini tentu saja menjadi pintu masuk untuk menyingkap fakta sejarah yang sebenarnya. Jawaban atas pertanyaan pertama sangat menentukan untuk menjawab pertanyaan kedua.

Hingga saat ini, menurut versi resmi yang beredar, setidaknya terdapat dua versi mengenai pemrakarsa utama SU 1 Maret 1949. Versi pertama menyebutkan peran Soeharto yang ketika itu berpangkat letnan kolonel, dan menjabat sebagai komandan Brigade X. Terhadap versi ini, dapat diajukan sebuah pertanyaan: mungkinkah seseorang dengan pangkat letnan kolonel dapat memberikan instruksi kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Perang (Kol. T.B. Simatupang), yang notabene adalah atasannya? Bukankah terlihat janggal pernyataan Soeharto bahwa dirinya kesulitan menghubungi Panglima Besar Jenderal Sudirman ketika akan melakukan serangan? Bukankah sebagai Komandan Brigade X, dirinya memang tidak punya akses komunikasi apa-apa dengan panglima besar, karena masih ada atasannya sendiri, yaitu Kol. Bambang Sugeng (Panglima Divisi III), Kol. A.H. Nasution (Panglima Tentara dan Tentorium Jawa), dan Kol. Simatupang sendiri?

Terhadap versi di atas, Batara menghadirkan versi alternatif, berdasarkan dokumen-dokumen yang ditemukan. Jelasnya, Batara membantah pemrakarsa SU 1 Maret 1949 adalah Letnan Kolonel Soeharto (versi pertama) dan Sultan HB IX (versi kedua). Menurut Batara, perintah serangan umumitu berasal dari Kolonel Bambang Sugeng, Panglima Divisi III/GM III, dengan merujuk pada Instruksi Rahasia tertanggal 18 Februari 1949, yang berisi instruksi terhadap Letkol. Soeharto sebagai komandan daerah III, dan Letkol. M. Bachrun, komandan daerah I.